Senin, 05 Juli 2010


Seolah tak percaya, Munawar terperangah dengan hasil panen nilanya kali ini yang lebih cepat dari biasanya. Menggunakan benih Nirwana (nila ras wanayasa), pembudidaya Keramba Jaring Apung di Waduk Saguling Jawa Barat itu mendapati siklus pemeliharaan lebih singkat. “Dengan benih nila lokal biasanya saya panen 6 bulan ukuran 5-6 ekor/kg, ini cukup 4 bulan,” katanya kepada TROBOS di Purwakarta Jawa Barat (Jabar) medio November lalu. Kini teman-teman Munawarwan sesama pembudidaya KJA di Saguling sebagian mengikuti jejaknya, menggunakan benih Nirwana.
Nirwana merupakan satu dari sejumlah jenis nila hitam unggulan yang sudah dirilis di Indonesia. Nila hasil penelitian Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) Wanayasa Purwakarta itu punya keunggulan pertumbuhan cepat dan daging yang dihasilkan tebal. Proporsinya 3 kg nila utuh menghasilkan 1 kg fillet (daging tanpa tulang). Menurut Kepala BPBI Wanayasa, Budiman, Nirwana merupakan persilangan famili nila GET (Genetically Enhanched Tilapia) dan GIFT (Genetic Improvement for Farmed Tilapia) yang berasal dari Filipina. Penelitian Nirwana dimulai 2002 dan disebar ke masyarakat 2006.
Saat ini indukan Nirwana yang tersebar sudah sampai generasi 4 (F4), meski F5 sudah mulai diproduksi. Pihaknya mentargetkan, stok famili setiap generasi minimal sebanyak 60 famili. Satu famili terdiri atas 10 induk jantan dan 10 induk betina. “Kita telah uji, pertumbuhan jantan F3 30% lebih baik ketimbang induknya (F2). Sementara yang betina, F3 pertumbuhannya 12% lebih baik dari induknya. Itu artinya generasi terbaru kualitas indukan yang dihasilkan semakin baik,” kata Budiman. Selama 2008, BPBI baru bisa menghasilkan 60 paket indukan (1 paket indukan nila terdiri atas 300 betina dan 100 jantan). Angka tersebut baru memenuhi sekitar 3% kebutuhan indukan nila di Jawa Barat. Peningkatan terjadi di 2009, sekitar 12% kebutuhan induk di Jabar dapat dipenuhi.
Kebutuhan indukan nila di Jabar untuk 2009 disebutkan Budiman sekitar 2.700 paket, sedangkan tahun depan diperkirakan mencapai 3.100 paket. “Target kita, pada 2011 semua kebutuhan indukan nila di Jawa Barat bisa dipenuhi dari Nirwana,” kata Budiman. Pihaknya menekankan pendataan dalam proses distribusi indukan kepada masyarakat. Disamping itu, untuk menjaga keaslian, induk-induk tersebut disertai surat keterangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan dan dengan masa kadaluarsa induk 2 tahun.

Gesit, Rekayasa Sex
Sementara itu di tahun yang sama, di tempat berbeda, ikan nila unggul jenis lain juga dirilis. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi menghasilkan nila Gesit (galur unggul induk jantan). Nila gesit merupakan jenis nila hitam hasil kerjasama penelitian BBPBAT Sukabumi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penggunaan hormon untuk mengarahkan kelamin saat ini sudah dilarang, sehingga pemanfaatan teknologi jantan super (YY supermale) merupakan alternatif terbaik. Secara normal ikan nila betina memiliki kromosom XX, sedangkan jantan XY. Melalui rekayasa, kromosom ikan nila jantan diubah menjadi YY. Sehingga hasil pengawinannya dengan betina normal akan diperoleh benih yang didominasi jantan (XY), kisarannya 96% jantan. Rekayasa sex ini dilakukan lantaran nila jantan memiliki keunggulan pertumbuhan relatif 2 kali lebih cepat ketimbang nila betina.
Bahkan melangkah lebih maju, Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Nila “Mina Cikole”, Banter Majalengka Jabar yang digunakan sebagai lokasi uji kualitas, tengah melakukan upaya persilangan antara Nirwana dengan nila Gesit. Menurut Pelaksana Teknis UPR Nila “Mina Cikole”, Banter Majalengka, Arief Maulana Syam, dari hasil persilangan tersebut diharapkan muncul jenis nila mayoritas jantan dengan keunggulan pertumbuhan cepat dan daging yang tebal. “Kita juga rencananya akan membandingkan kualitas jenis nila yang baru dirilis yaitu Larasati dan Best,” kata Arief.
Data BBPAT Sukabumi menunjukkan, 54.855 ekor benih nila Gesit yang dihasilkan selama 2008 telah didistribusikan ke 18 provinsi. Jumlah ini meningkat dari hasil di 2007 yang mencapai 45.530 ekor. Sampai saat ini, total benih nila Gesit yang sudah didistribusikan tercatat 100.385 ekor.

Best, Tahan Streptococciasis
Pendatang baru, yang paling anyar di kelas nila adalah Larasati (nila merah strain janti) dan Best (Bogor Enhanced Strain Tilapia). Peluncuran kedua jenis nila unggulan tersebut dilakukan secara simbolik oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Balai Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar (PBIAT) Klaten Jawa Tengah (23/11).
Nila Best, jenis nila hitam ini berasal dari generasi ke-6 nila Gift hasil evaluasi Balai Riset perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Cijeruk Bogor selama kurun waktu 2004 – 2008. Berdasarkan kajian, nila jenis ini memiliki kekuatan 140% lebih tahan terhadap serangan penyakit Streptococcus dibanding varietas lainnya.
Selama ini, menurut teknisi lapangan PT Suri Tani Pemuka (produsen pakan ikan) area Semarang Mulyadi, penyakit masih jadi salah satu hambatan berkembangnya usaha budidaya nila. Streptococciasis, yang disebabkan bakteri Streptococcus disebutnya sebagai penyakit yang utama. Sebagai gejala antara lain, di awal infeksi mata ikan tampak menonjol, warna badan secara umum pucat. Serangan bakteri ini berakibat bobot badan menurun, dan menyebabkan kematian yang bisa sampai 75% ,khususnya saat tebar benih.
Menurut Otong Zenal Arifin, salah satu peneliti dari BRPBAT Bogor pengembangan induk nila Best melalui proses seleksi yang panjang dan teliti. “Dengan terpusatnya penghasil induk, proses menghasilkan sifat-sifat unggul dapat terus dilakukan sehingga semakin lama semakin sempurna keunggulannya,” optimis Otong berujar. Lebih lanjut ia menjelaskan, sebanyak 200 ribu calon induk nila Best telah disebar ke balai perbenihan di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Jogjakarta, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. “Sehingga pada 2014 diharapkan telah tersedia 1,4 juta induk Best,” harapnya.
Dijabarkan lebih rigid oleh Otong, harga calon induk Best cukup terjangkau, hanya Rp 250,-/ekor ukuran 2-3 cm. Sedangkan benih sebarnya Rp 50,-/ekor untuk ukuran yang sama. Produksi telur induk nila Best mencapai 1.500 – 3 ribu butir/ekor atau 3 – 5 kali lebih banyak dibanding nila umumnya. Dalam setahun nila jenis ini mampu memijah 6 kali, dengan produksi telur terbanyak pada musim hujan. Porsi daging yang dihasilkan juga lebih tinggi karena posturnya yang buntek, perbandingan panjang badan dan panjang total mencapai 70%, sedangkan pada nila umumnya hanya 63%. Pertumbuhan ikan ini 1,5 – 2 kali lebih cepat dengan konversi pakan 1,0 – 1,1 pada pemberian pakan dengan kandungan protein.

Minggu, 04 Juli 2010

Pengelolaan Waduk Jatiluhur untuk Menunjang Usaha Perikanan yang Berkelanjutan dan Lestari

Pengelolaan Waduk Jatiluhur untuk Menunjang Usaha Perikanan yang Berkelanjutan dan Lestari



PENDAHULUAN


Danau/waduk merupakan komponen yang sangat penting dalam keseimbangan sistem tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya. Dari sudut ekologi misalnya, waduk dan danau merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur air, kehidupan akuatik dan daratan yang dipengaruhi tinggi rendahnya muka air.

Selain itu, kehadiran waduk dan danau juga akan mempengaruhi iklim mikro dan keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Sedangkan ditinjau dari sudut keseimbangan tata air, waduk dan danau berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkan airnya untuk keperluan sistem irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir, serta penyuplai air tanah.

Waduk Jatiluhur (Ir. H. Djuanda) merupakan waduk yang dibangun di daerah aliran sungai (DAS) Citarum dengan tujuan utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan penyediaan air minum. Waduk yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, memiliki luas 8.300 Ha dengan kapasitas waduk mencapai kurang lebih 3 milyar m3 dan duga muka air maksimum mencapai 107 meter di atas permukaan laut.

Waduk ini juga berfungsi sebagai lahan untuk perikanan tangkap dan budidaya ikan. Pola penangkapan ikan di Waduk Jatiluhur adalah dengan menggunakan jaring insang, jala, anco dan pancing dengan hasil tangkapan rata-rata sebesar 118.875 kg per tahun atau sebesar 1.359,439 ton per tahun. Pola budidaya ikan di waduk ini dilakukan dengan menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) berukuran 7x7 meter. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah jenis ikan mas, nila dan patin. Produksi ikan dari kegiatan budidaya dari tahun 2004-2007 mengalami kenaikan yang signifikan yaitu dari 7.048,36 ton menjadi 33.314 ton (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2004-2007).

Pengelolaan perikanan sumberdaya perairan Waduk Jatiluhur sampai saat ini masih berorientasi kepada peningkatan produksi dan mengabaikan kondisi lingkungan perairan. Peningkatan jumlah unit KJA yang kurang terkendali telah menimbulkan berbagai masalah yang berdampak negatif, baik secara ekonomi maupun terhadap lingkungan perairan terhadap perikanan tangkap perairan waduk. Limbah organik yang tidak terurai dengan sempurna akibat ketidakefisienan pakan yang diberikan berdampak menumpuknya limbah tersebut di dasar perairan. Hal ini juga memicu serta memacu terjadinya eutrofikasi yang menyebabkan blooming alga diikuti dengan munculnya gas-gas yang dapat membunuh organisme lain.

Dalam keadaan demikian maka secara fisik waduk tersebut tidak akan jauh berbeda dengan comberan raksasa, di waktu mendapatkan sinar matahari berwarna hijau pekat dan berwarna hitam kecoklat-coklatan di saat tidak mendapatkan sinar matahari. Dampak tersebut tentu saja merugikan petani dan nelayan ikan, disamping berdampak juga terhadap pariwisata dan sumber air untuk konsumsi yang mengancam keseimbangan ekosistem waduk dan kelestarian sumberdaya perikanan serta keberlanjutan usaha perikanan (tangkap dan budidaya KJA) di perairan tersebut Jika tidak ada penanganan akan laju kerusakan ini, maka akan mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat perikanan di perairan waduk tersebut.

Berbagai riset telah dilakukan oleh BRKP, perguruan tinggi dan institusi riset lainnya juga menunjukkan adanya penurunan kondisi lingkungan dan ekosistem perairan waduk Jatiluhur. Data Riset PANELKANAS dari BBRSEKP mengindikasikan adanya kecenderungan penurunan pendapatan, skala usaha dan kesejahteraan nelayan tangkap di perairan tersebut. Hasil-hasil yang menyangkut kondisi biofisik perairan waduk Jatiluhur juga menunjukkan adanya penurunan kualitas lingkungan dan penurunan stok ikan di waduk Jatiluhur.

Untuk itu diperlukan upaya keberlanjutan perikanan sebagai upaya untuk melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan serta tetap memberikan keuntungan ekonomi bagi komunitas perikanan. Dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang timbul dan formulasi pengelolaan sumberdaya perikanan dimasa mendatang untuk menciptakan keseimbangan ekosistem perairan waduk, BBRSEKP memandang perlu melakukan Lokakarya Pengelolaan Waduk Jatiluhur untuk Menunjang Usaha Perikanan yang Berkelanjutan dan Lestari. Kegiatan ini merupakan forum untuk mempertemukan pelaku riset, pembuat kebijakan dan pelaku usaha Jatiluhur bertukar pikiran dan mencari solusi untuk kelestarian waduk dan keberlanjutan usaha. Dalam lokakarya ini akan ditampilkan beberapa makalah dari narasumber yang berkompeten serta diskusi untuk merumuskan pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.